Selasa, 12 November 2013

HUKUM EKONOMI


HUKUM PERDATA
A.  Pengertian Hukum Perdata
Hukum perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepetingan antara individu-individu dalam masyarakat. Dalam tradisi hukum di daratan eropa (civil law) dikenal pembagian hukum menjadi dua yakni hokum public dan hukum privat atau hokum perdata. Dalam sistem Anglo-Saxon (common law) tidak dikenal pembagian semacam ini
B.  Sejarah Hukum Perdata
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Prancis yaitu yang disusun berdasarkan hukum Romawi ‘Corpus Juris Civilis’ yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum Privat yang berlaku di Prancis dimuat dalam dua kodifikasi yang disebut (hukum perdata) dan Code de Commerce (hukum dagang). Sewaktu Prancis menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri Belanda yang masih dipergunakan terus hingga 24 tahun sesudah kemerdekaan Belanda dari Prancis (1813).
Pada tahun 1814 Belanda mulai menyusun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KHUS Negeri Belanda, berdasarkan kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh J.M. Kemper disebut Ontwerp Kemper. Namun, sayangnya Kemper meninggal duniapada 1824 sebelum menyelesaikan tugasnya dan dilanjutkan oleh Nicolai yang menjabat sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Belgia.
Keinginan Belanda tersebut terealisasi pada tanggal 6 Juli 1880 dengan pembetukan dua kodifikasi yang baru diberlakukan pada tanggal 1 0oktober 1838 oleh karena telah terjadi pemberotakan di Belgia, yaitu :
·         BW (atau Kitab Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda)
·         WvK (atau yang dikenal dengan Kitab Undang Undang Hukum Dagang)
Menurut J. Van Kan, kodifikasi BW merupakan terjemahan dari Code Civil hasil jiplakan yang disalin dari bahasa Prancis ke dalam bahasa nasional Belanda
C.  Hukum Perdata yang Berlaku di Indonesia
Yang dimaksud dengan hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan BW. Sebagian materi BW sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang-Undang RI, misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, dan UU Kepailitan.
Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1848.
Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan  Undang-Undang baru berdasarkan Undang-Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda merupakan induk hukum perdata Indonesia.
D.  Sitematika Hukum Perdata di Indonesia
Sistematika Hukum Perdata di Indonesia dalam KUH Perdata terdiri atas empat bagian, yaitu:
a.       Buku 1 tentang Orang/Van Personnenrecht
Mengatur hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur statur serta hak dan kewajiban yang oleh subyek hukum.
b.      Buku 2 tentang Benda
Mengatur hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan
c.       Buku 3 tentang Perikatan/Verbintenessenrecht
Mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun sesungguhnya mempunyai makna yang berbeda)), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiba antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian.
d.      Buku 4 tentang Daluwarsa dan Pembuktian/Verjaring en Bewijs
Mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dalam hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian.
Sistematika Hukum Perdata di Indonesia menurut ilmu pengetahuan terdiri atas empat bagian, yaitu: Hukum Perseorangan atau Badan Pribadi, Hukum Keluarga, Hukum Harta Kekayaan dan Hukum Waris.
HUKUM PERIKATAN

A.  Pengertian Hukum Perikatan
            Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menggunakan istilah Perikatan, yaitu “Verbintenis” dan Persetujuan, yaitu “Overeenkomst”. Verbintenis berasal dari kata kerja Verbiden yang artinya mengikat. Overeenkomst berasal dari kata kerja Overeenkomen yang artinya setuju atau sepakat.
            Menurut Hotmann, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subyek-subyek hukum sehubungan dengan itu dengan seseorang atau beberapa prang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain, yang berhak aatas sekap yang demikian itu.
            Menurut Pitlo, perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara 2 orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas sesuatu prestasi.
            Menurut Subekti, perikatan adalah suatu hubungan hukum antara 2 pihak, yang mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lainnya yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.
            Perikatan dalam arti sempit, adalah perikatan yang terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan saja. Dalam hukum perikatan ini bahwa hubungan hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban dala perikatan tersebut antara dua pihak. Pihak yang berhak atas prestasi atau pihak yang aktif adalah kreditur atau orang yang berpiutang.
B.  Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan Undang-Undang, dan sumber dari Undang-Undang dapat dibagi lagi menjadi Undang-Undang dan perbuatan manusia. Sumber Undang-Undang dan perbuatan manusia dapat dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan hukum.
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUH PErdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
a.       Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian)
b.      Perikatan yang timbul dari Undang-Undang
c.       Perikatan bukan terjadi perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan lain melanggar hukum dan perwakilan sukarela

Sumber perikatan berdasarkan Undang-Undang :
a.       Perikatan (Pasal 1233 KUH Perdata) : Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena Undang-Undang. Persetujuan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.
b.      Persetujuan (Pasal 1313 KUH Perdata) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
c.       Undang-Undang (Pasal 1352 KUH Perdata) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang.

C.  Azas-azas dalam Hukum Perikatan
Azas-azas dalam hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
Azas Kebebasan Berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya.
Azas Konsensualisme , artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak  memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.
Untuk sahnya suatu perjajian diperlukan 4 syarat adalah :
a.       Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengingatkan Diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan sela sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
b.      Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampunan.
c.       Mengenai Suatu Hal Tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
d.      Suatu sebab yang Halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan yang diperbolehkan oleh Undang-Undang, kesusilaan, atau ketertiban umum.

D.   Wanprestasi dan Akibat dalam Hukum Perdata
1)      Wanprestasi dalam Hukum Perdata
Wanprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari wanprestasi bias berupa empat kategori, yakni :
a.       Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
b.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
c.       Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat
d.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya

2)      Akibat dalam Hukum Perdata

Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yaitu :

a.       Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur
Ganti rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni biaya, rugi dan bunga
b.      Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian
c.       Peralihan Risiko

E.   Cara-cara Hapusnya Suatu Perikatan
Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan sepuluh cara hapusnya suatu perikatan. Cara-cara tersebut antara lain :
·         Pembayaran
·         Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan penitipan
·         Pembaharuan hutang
·         Perjumpaan hutang atau kompensasi
·         Pemcampuran hutang
·         Pembebasan hutang
·         Musnahnya barang yang terhutang
·         Kebatalan/pembatalan
·         Berlakunya suatu syarat batal
·         Lewatnya waktu


HUKUM PERJANJIAN

A.  Standar Kontrak dalam Hukum Perjanjian
Istilah perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial. Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti kerugian dalam keadaan yang memeperburuk.
Bila dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
  1. Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
  2. Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of International Comercial Contract).
  3. Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT
  4. Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut terakhir dinyatakan berlaku.
  5. Pasal 2.22
  6. UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan
  7. UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

B.  Macam-macam Perjanjian
Macam-macam perjanjian obligator ialah sebagai berikut:
  1. Perjanjian dengan cumua-Cuma dan perjanjian dengan beban.
  1. Perjanjian dengan cuma-cuma ialah suatu perjanjian dimana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
  2. Perjanjian dengan beban ialah suatu perjanjian dimana salah satu pihak memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain dengan menerima suatu manfaat bagi dirinya sendiri.
  1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik.
  1. Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian dimana hanya terdapat kewajiban pada salah satu pihak saja.
  2. Perjanjian timbal balik ialah suatu perjanjian yang memberi kewajiban dan hak kepada kedua belah pihak.
  1. Perjanjian konsensuil, formal dan riil.
  1. Perjanjian konsensuil ialah perjanjian dianggap sah apabila ada kata sepakat antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.
  2. Perjanjian formil ialah perjanjian yang harus dilakukan dengan suatu bentuk tertentu, yaitu dengan cara tertulis.
  3. Perjanjian riil ialah suatu perjanjian dimana selain diperlukan adanya kata sepakat, harus diserahkan.
  1. Perjanjian bernama, tidak bernama, dan campuran.
  1. Perjanjian bernama ialah suatu perjanjian dimana UU telah mengaturnya dengan ketentuan-ketentuan khusus
  2. Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur secara khusus.
  3. Perjanjian campuran ialah perjanjian yang mengandung berbagai perjanjian yang sulit di kualifikasikan.


C.  Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
  3. Suatu hal tertentu
  4. Suatu sebab yang halal
Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedanngkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan.

D.  Saat Lahirnya Perjanjian
Menurut azas konsensualitas, suatu pejanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lainnya, meskipun tidak sejurusan tetapi secara bertimbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.
Karena suatu perjanjian dilahirkan pada detik tercapainya sepakat, maka perjanjian itu lahir pada detik diterimanya penawaran (offerte). Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap dilahirkan pada saat dimana pihak yang melakukan penawaran menerima jawaban yang termaksud dalam surat tersebut, sebab saat itulah dapat dianggap sebagai detik lahirnya sepakat. Karena perjanjian sudah dilahirkan maka tak daapat lagi ia ditarik kembali jika tidak seizin pihak lawan.

E.   Pembatalan dan Pelaksanaan Suatu Perjanjian
Apabila dalam suatu syarat obyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (null and void). Dalam hal yang demikian maka secara yuridis dari semula tidak ada suatu perjanjian dan tidak ada pula suatu perikatan antara orang-orang yang bermaksud membuat perjanjian itu.
Apabila pada waktu pembuatan perjanjian, ada kekurangan mengenai syarat yang subyktif, maka perjanjian itu bukannya batal demi hukum, tetapi dapat dimintakan pembatalannya oleh salah satu pihak. Pihak ini adalah pihak yang tidak cakap menurut hukum (yang meminta orang tua atau walinya, ataupun ia sendiri apabila ia sudah cakap), dan pihak yang memberikan perjanjian atau menyetujui itu secara tidak bebas.
Dalam hukum perjanjian ada tiga sebab yang membuat perjanjian tidak bebas, yaitu:
  1. Paksaan
  2. Kekhilafan atau Kekeliruan
  3. Penipuan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar